Daerah

“Takut Pulang Kalau Dagangan Tak Habis” Kisah Bocah SD Penjual Keripik di Tolitoli

4
×

“Takut Pulang Kalau Dagangan Tak Habis” Kisah Bocah SD Penjual Keripik di Tolitoli

Sebarkan artikel ini
Bocah Kecil yang terengut ruang dan waktu belajar serta bermainnya demi membantu menopang keterbatasan ekonomi keluarganya. Tampak bocah usia SD saat duduk dipintu masuk sebuah kafe menawarkan barang dagangannya.

Laporan : Rustam Moh Nur

TOLITOLI , Suluh Merdeka  – Dengan langkah kecil dan tatapan polos, seorang bocah usia sekolah dasar  tampak duduk lesu dipintu masuk sebuah kafe di Kota Tolitoli. Disekitranya tergeletak keripik yang terbungkus kantong plastik serta cemilan dalam kemasan bening dalam keranjang, sementara tangannya terus merapikan dagangan seolah berharap ada yang membeli.

“Takut pulang om kalau tidak habis, nanti saya dimarah,” ucapnya lirih, sembari menunduk.

Sejak pulang sekolah, bocah perempuan itu  langsung berganti pakaian dan tidak memiliki waktu bermain dengan teman-temannya. Ia harus menuntaskan misi, menjajakan keripik dagangan keluarga. Dari satu kafe ke kafe lain, ke pasar, pertokoan hingga tempat-tempat keramaian, bahkan jika ada hajatan olahraga atau arena hiburan malam, ia berkeliling tanpa lelah.

Meski kerap ada orang baik yang iba dan mencoba memberinya uang tanpa mengambil dagangannya, ia selalu menolak dengan halus.

“Harus dibeli om. Karena kalau tidak habis, saya takut pulang,” katanya polos.

Kalaupun terlanjur diberi uang lebih, bocah itu justru memilih membagi-bagikan keripiknya secara cuma-cuma. Baginya, lebih baik dagangan laku meski tidak menghasilkan, dari pada pulang dengan sisa barang. Hanya dengan begitu ia bisa merasa tenang dan bermain sejenak bersama teman-temannya.

Fenomena ini bukan sekali dua kali terlihat. Beberapa kali, media ini mendapati sejumlah anak seusia SD diturunkan oleh orang dewasa—entah orang tua atau kerabat—di berbagai titik keramaian dalam kota. Mereka berkeliling menawarkan dagangan hingga malam hari, lalu dijemput kembali setelah jualannya habis.

Antara harapan dan eksploitasi, Fenomena tersebut mengundang perhatian publik. Taufik, anggota DPRD Kabupaten Tolitoli, menilai bahwa kondisi ini ibarat dua sisi mata uang.

“Ini sebenarnya teknik pemasaran yang menjadikan anak-anak sebagai ujung tombak. Di satu sisi, kasihan karena mereka kehilangan waktu bermain dan belajar layaknya anak seusia mereka. Tapi di sisi lain, kita juga melihat kenyataan pahit kondisi ekonomi keluarga yang menggantungkan hidup dari usaha itu,” ujarnya.

Menurut Taufik, praktik semacam ini harus menjadi perhatian bersama. Ia menekankan pentingnya solusi yang tidak hanya menyalahkan, tetapi juga memberi jalan keluar.

“Jangan sampai usaha orang tuanya mati, tapi anak-anak tetap tidak boleh menjadi korban. Mereka punya hak untuk belajar, bermain, dan tumbuh dengan wajar,” tambahnya.

Sebuah cermin sosial, kisah bocah penjual keripik ini menjadi potret nyata bagaimana beban ekonomi memaksa anak-anak kehilangan ruang bermain. Kehidupan masa kecil yang seharusnya penuh tawa, justru berganti dengan rasa takut tidak bisa menghabiskan dagangan.

Di balik tatapan polosnya, tersimpan harapan sederhana, bisa pulang tanpa dimarahi, bisa habiskan dagangan, dan bisa bermain sebentar dengan teman-teman.

Dan bagi kita yang melihat, kisah ini seharusnya mengetuk hati, apakah kita akan membiarkan masa kecil mereka terus tergadaikan hanya demi lembaran rupiah? (*)