TOLITOLI,Suluh Merdeka – Di ruang rapat DPRD Tolitoli, Kamis siang (4/9/2025), suasana mendadak tegang. Seorang perempuan paruh baya bernama Mikalia, warga Desa Tinabogan, menahan haru ketika menceritakan nasibnya di hadapan wakil rakyat. Mobil Avanza Veloz miliknya yang sudah hampir lunas, tiba-tiba dirampas debt collector hanya karena menunggak cicilan tiga bulan.
“Setiap bulan saya bayar Rp3,2 juta. Tinggal lima bulan lagi lunas. Karena terlambat tiga bulan, saya minta kebijakan untuk bayar sebulan dulu, tapi mereka menolak. Harus langsung tiga bulan,” suaranya bergetar, membuat hadirin terdiam.
Namun, ironinya tak berhenti di situ. Saat Mikalia akhirnya siap melunasi tunggakan, pihak leasing justru mematok kewajiban baru, sebesar Rp75 juta. Uang itu, katanya, untuk biaya penarikan, penitipan, hingga denda yang ditetapkan sepihak.
“Saya merasa telah diperas. Tidak pernah ada perjanjian seperti itu. Saya mohon, bantu kami agar masalah ini bisa masuk proses hukum,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Kisah Mikalia hanyalah satu dari sekian banyak potret keresahan masyarakat Tolitoli atas ulah perusahaan pembiayaan (leasing) yang diduga kerap bertindak sewenang-wenang melalui para debt collector.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Tolitoli hari itu seolah menjadi panggung pengakuan. Sejumlah warga korban leasing ikut menyampaikan keluhan, sementara anggota dewan menyimak dengan wajah serius.

Wakil Ketua DPRD Tolitoli, Risman, SE., MM, tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Baginya, praktik leasing yang menarik kendaraan seenaknya tanpa proses hukum ibarat “perampasan terselubung”.
“Rekomendasi ini segera kami keluarkan. Aparat harus turun tangan. Perusahaan pembiayaan sudah terang-terangan melakukan praktik di luar prosedur hukum,” tegas Risman usai rapat.
DPRD Tolitoli menilai praktik leasing tersebut tak hanya melanggar etika bisnis, tetapi juga menabrak hukum. Sejumlah regulasi disebutkan, mulai dari UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, hingga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang jelas melarang penarikan kendaraan tanpa persetujuan debitur.
“Penarikan paksa bukan lagi soal administrasi. Ini sudah masuk tindak pidana,” tegas Risman.
Ia juga menyinggung UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan hak masyarakat atas kenyamanan, keamanan, serta perlakuan adil. Sayangnya, hak-hak itu kerap terabaikan.
Bagi masyarakat kecil seperti Mikalia, kendaraan bukan sekadar alat transportasi, melainkan juga bagian dari perjuangan ekonomi keluarga. Ketika benda itu dirampas dengan cara yang tidak adil, rasa kehilangan bercampur dengan perasaan diperlakukan semena-mena.
Kini, DPRD Tolitoli berkomitmen mengawal kasus ini hingga aparat penegak hukum mengambil tindakan nyata. Mereka juga mendorong masyarakat agar tidak takut melapor jika menjadi korban leasing nakal.
“Masyarakat sudah terlalu lama jadi korban. Kami ingin keadilan ditegakkan, dan hak rakyat dilindungi,” pungkas Risman, mengakhiri rapat yang hari itu menjadi saksi suara rakyat kecil menuntut keadilan. (Rustam)