BeritaDaerah

Skandal “Sunat” Anggaran di PUPR Tolitoli: DPRD Dilecehkan, LSM Desak Penegak Hukum Bertindak

4
×

Skandal “Sunat” Anggaran di PUPR Tolitoli: DPRD Dilecehkan, LSM Desak Penegak Hukum Bertindak

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072

TOLITOLI Suluh Merdeka – Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Tolitoli, khususnya Bidang Cipta Karya, diduga melakukan kebijakan menyimpang dengan memangkas tanpa dasar hukum seluruh anggaran program kerja yang sebelumnya telah dibahas bersama Banggar DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) serta disahkan melalui rapat paripurna.

Praktik tersebut terungkap ketika Kepala Bidang Cipta Karya PUPR Tolitoli, Haizar Syamsudin, tidak mampu menjelaskan alasan berkurangnya anggaran program yang sudah ditetapkan lewat asistensi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.

Haizar bahkan mengakui, seluruh dana hasil “cubit-cubit” tersebut dialihkan untuk membiayai kegiatan yang tidak pernah tercantum dalam APBD awal tahun 2025.

“Bukan cuma anggaran rehab yang dipangkas, tapi semua program. Dana yang terkumpul kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan ATK dan kegiatan seksi yang tidak punya anggaran,” ujarnya.

Meski enggan merinci total anggaran yang diubah, informasi yang diperoleh menyebutkan jumlahnya mencapai kurang lebih Rp5 miliar berdasarkan hasil penetapan APBD Perubahan.

Kepala Bidang Anggaran Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Tolitoli, Sunarti, menegaskan bahwa anggaran yang sudah disahkan tidak boleh diubah sepihak.

“Kalau anggaran berubah atau berkurang, itu bukan kebijakan BPKAD. Itu dilakukan PUPR, kami tidak tahu soal itu,” katanya kepada wartawan.

Kebijakan “sunat” anggaran itu langsung mendapat sorotan tajam dari kalangan LSM. Direktur LSM Bumi Bhakti, Ahmad Pombang, menyebut tindakan tersebut telah menabrak aturan hukum dan melecehkan fungsi legislasi DPRD.

“Anggaran hasil ‘cubit-cubit’ yang kemudian dipakai untuk kegiatan yang tidak pernah dibahas di Banggar DPRD jelas ilegal. Itu sama saja kegiatan bodong,” tegas Ahmad.

Ahmad menambahkan, perubahan anggaran tanpa prosedur resmi merupakan pelanggaran terhadap sejumlah aturan, mulai dari UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, hingga Perda APBD yang berlaku.

Lebih jauh, ia menilai praktik tersebut memenuhi unsur tindak pidana, khususnya penyalahgunaan wewenang dan korupsi sebagaimana diatur dalam KUHP serta UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Dasar hukum itu bisa dijadikan pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan. Jangan sampai praktik ini menjadi budaya. Kami mendesak aparat segera bertindak, karena kasus serupa sangat mungkin juga terjadi di OPD lain,” tutup Ahmad. (Rustam)