Berita

PT CPM Sebut Ganti Rugi Lahan di Blok Poboya dilakukan Dengan Dua Pendekatan

1
×

PT CPM Sebut Ganti Rugi Lahan di Blok Poboya dilakukan Dengan Dua Pendekatan

Sebarkan artikel ini
Pemandangan aktivitas penambanga ilegal di Kelurahan Poboya Kota palu (Foto:Suluhmerdeka.com)

PALU,SULUHMERDEKA – PT Citra Palu Minerals (CPM) berterima kasih atas saran, arahan dan petunjuk yang disampaikan Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah, Dedy Askari melalui rilis media. PT CPM selama ini dalam pembebasan lahan untuk kepentingan operasional melakukanya sesuai dengan pelbagai perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Acting General Manager External Affairs and Security PT CPM, Amran Amier, PT CPM beroperasi di Areal Penggunaan Lain (APL) dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Pembebasan lahan di dua areal tersebut melalui pendekatan yang berbeda yakni transaksi jual beli di APL sesuai dengan SKPT dari Kelurahan dan Kecamatan, sedangkan untuk kawasan HPT melalui pemberian kerohiman.

Pemberian kerohiman di HPT kepada warga yang mengklaim kepemilikan lahan itu karena CPM telah memperoleh Persetujuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) dari Kementerian LHK dan kawasan hutan juga tak bisa diperjualbelikan karena alasan klaim warga.

“Kalau kita melakukan transaksi jual beli kawasan hutan itu sangat tidak boleh dan melanggar aturan yang berlaku. Tidak boleh jual beli kawasan hutan disamakan dengan lahan-lahan di luar kawasan hutan,” jelas Amran

Menurut Amran, melalui dua pendekatan tersebut, CPM telah melakukan pembebasan lahan di APL dan juga pemberian kerohiman kepada warga yang mengklaim lahan di kawasan hutan. Namun, ada warga yang mengklaim lahan di kawasan hutan yang tidak mau menerima kerohiman dari CPM karena masih melakukan aktivitas tambang ilegal di areal yang diklaim yang masuk kawasan hutan.

Amran juga mengatakan akan memberi informasi yang akurat dan menyeluruh kepada Komnas HAM Perwakilan Sulteng, karena ada potensi pemberian informasi yang tidak tepat untuk menutup aktivitas tambang ilegal.

“Kami tentu menghormati HAM, namun juga kami berharap, jangan sampai isu HAM dijual untuk menutupi kegiatan tambang ilegal,” kata Amran.

Rilis KomnasHAM Perwakilan Sulteng

Sebelumnya pada Rabu 9 Oktober 2024, KomnasHAM Perwakilan Sulteng Dedi Askari mengeluarkan rilis yang mendesak  Bumi Resources Mineral (BRMS) melalui anak usahanya PT. Citra Palu Minerals (PT.CPM) menghentikan praktek buruk yang merendahkan harkat dan martabat warga Poboya dan Masyarakat lingkar tambang dalam pengelolahan pertambangan emas di Blok 1 Poboya.

CPM menurutnya harus menghentikan aktifitas produksi (pengambilan material melalui pengerukan dan blasting di lahan-lahan warga yang belum mendapat kompensasi atau ganti rugi dari PT. CPM di Blok 1 Poboya, termasuk dilahan atau tanah milik Agus Alajiman.

Kehadiran PT. CPM mestinya memiliki peran penting dalam mendorong peningkatan taraf ekonomi warga, bahkan sedapat mungkin membantu melakukan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat atau masyarakat yang berada dilingkar tambang Blok 1 Poboya.

BRMS melalui anak usahanya selaku pemegang konsesi dan pemilik Izin produksi kata Dedi Askari, tidak dengan serta-merta sekehendak hati dapat melakukan penyerobotan lahan, pengerukan dan blasing di lahan-lahan warga yang belum menerima kompensasi atau ganti rugi atas lahan mereka sebagai alat atau aset produksi untuk menopang penghidupan mereka.

Dalam konteks pelepasan tanah sebagai aset produksi, warga setempat atau warga-warga yang berada di kawasan lingkar tambang untuk kepentingan pembangunan industri atau pabrik serta pengerukan material emas serta proses produksi lainnya, yang dilakukan PT. CPM, pembebasan lahan atau pelepasan hak-hak masyarakat yang masuk di dalam konsesi pertambangan.

Lalu dilakukan melalui mekanisme jual-beli, tukar-menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak semisal ganti-rugi, tidak melakukan pelepasan hak atau pembebasan lahan masyarakat melalui pemberian Dana Kerohiman dari PT. CPM yang cenderung “dipaksakan” .

Dedi menuliskan, penyiapan dan pembebasan atau pelepasan hak kepemilikan lahan warga dengan pemberian dana kerohiman ala BRMS melalui anak usahanya PT. CPM adalah praktek “pembodohan” yang dipertontonkan secara terbuka. Mengingat skema pemberian dana kerohiman sebagaimana yang dilakukan PT. CPM di Kantor Palu, adalah pola penanganan dampak sosial kemasyarakatan atas tanah yang diidentifikasi sebagai tanah musnah dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum.

Masyarakat poboya selaku pemilik hak atas tanah atau lahan dengan segala yang ada di atasnya, bukanlah korban dampak sosial kemasyarakatan atas tanah yang diidentifikasi sebagai tanah musnah dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum. Pembebasan tanah bahkan hingga pencabutan hak atas tanah milik seseorang yang tidak diiringi kompensasi ganti rugi yang layang atau tidak melalui jual-beli, hanya karena dalil bahwa Industeri atau pembangunan industeri pemurnian emas di Poboya adalah pembangunan yang dilakukan oleh swasta untuk kepentingan umum, adalah penyesatan.

Mengingat pembangunan pertambangan emas oleh PT. CPM mulai dari hulu hingga hilir, bukanlah untuk kepentingan unum, mengingat dalam menjalankan usahanya untuk mencari keuntungan.

Selanjutnya PT. CPM dalam mengeruk material emas di Blok Poboya harus melakukan aktifitasnya, apalagi yang memiliki keterkaitan langsung dengan hak-hak masyarakat setempat utamanya hak-hak atas tanah atau lahan milik masyarakat.  Yang kepemilikan dan penguasaannya secara turun-temurun jauh sebelum BRMS selaku pemegang konsesi, bahkan jauh sebelum PT. CPM selaku anak usaha BRMS didirikan dan hadir di Tanah Poboya.

Bahkan penguasaan tanah atau lahan oleh masyarakat setempat jauh sebelum Tahura ditetapkan, tata kelolahnya harus mengedepan keadilan bagi masyarakat pemilik hak dengan tidak sama sekali mengabaikan hak-hak fundamental yang melekat pada masyarakat Poboya selaku pemilik lahan.

  1. CPM dalam melakukan aktifitasnya, harus mehinghindari praktek-praktek buruk pembebasan lahan atau ganti rugi atas tanah-tanah atau lahan milik masyarakat yang masuk dalam konsesi pertambangan milik BRMS melalui anak usahanya PT.CPM, untuk dan demi pencapaian hasil yang maksimal berdasarkan target yang ditetapkan, mengabaikan nilai-nilai keadilan dan hak-hak fundamental yang dimiliki masyarakat.

BRMS melalui anak usahanya PT CPM dalam pengelolahan lahan dan potensi sumber daya mineral di Blok Poboyo, tidak boleh hadir sebagai penindas dan menyerobot serta merampas tanah atau lahan-lahan milik masyarakat yang didapatkan serta dikuasai secara turun temurun. Baik orang-perorang maupun secara kolektif dalam skema tanah adat atau tanah ulayat jauh sebelum konsesi pertambangan emas Blok Poboya milik BRMS diterbitkan.

Dalam banyak peristiwa, PT CPM di Blok poboya melakukan praktek-praktek penyerobotan dan pengerukan material di lahan-lahan milik masyarakat yang belum dilakukan pelepasan hak atau pembebasan dan ganti rugi oleh PT.CPM. Dan karenanya dihentikan atau dilarang oleh masyarakat pemilik lahan, senantiasa dan selalu mengkriminalisasi warga dengan cara melaporkan warga ke pihak kepolisian dengan dalil mengalangi aktifitas perusahaan.

Dedi Askari memang membenarkan dalam undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menyebut jika ada masyarakat yang merintangi jalan tambang, maka harus ditindak secara pidana. Namun harus diingat utamanya para pelaku kriminalisasi dan Aparat Penegak Hukum (APH) terutama dari kepolisian, bahwa di pasal 68 mengatakan jika ada permasalahan tanah harus diselesaikan dulu.

“Ingat, harus diselesaikan dulu, Jadi bukan berarti orang itu merintangi jalan tambang atau meminta penghetian pengerukan dan pengambilan material (dilakukan) secara sengaja, tanpa sebab, itu tidak mungkin,”tulis Dedi Askari.

Kemudian Pasal 68 ayat 4 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan ’setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Itu pertanda bahwa perusahaan wajib menyelesaikan ganti rugi tanah kepada masyarakat, bukan pemberian dana kerohiman.

Eksistensi masyarakat Poboya, itu diakui pemerintah karenanya di Poboya dibentuk satu Kelurahan, namanya Kelurahan Poboya.

“Dalam hubungan kepemilikan dan penguasaan tanah, mereka memiliki bukti hak kelola berupa tanam tumbuh, ladang, mereka punya wilayah kelolah, situs-situs pekuburan tua, yang membuktikan bahwa ada kwhidupan di wilayah tersebut dari semnjak dahulu, jauh sebelum “para penindas gaya baru ini datang,”ujarnya.

Karena itu tambah Dedi Askari, ganti rugi juga biaya pengelolaan bukan hanya tanam tumbuh. Kalau misalnya bikin ladang, perusahaan harus ganti rugi biayanya. Bahkan lebih dari itu perusahaan harus memberikan kompensasi, komuniti development, CSR, itukan kewajiban perusahaan kepada masyarakat sekitar (**)