TOLITOLI, Suluh Merdeka — Perkara Narkotika dengan terdakwa Ari Sugianto yang telah diputus Pengadilan Negeri (PN) Tolitoli tidak hanya menyisakan vonis pidana, tetapi juga membuka ruang kritik terhadap transparansi dan akuntabilitas penanganan barang bukti oleh aparat penegak hukum. Selisih jumlah barang bukti antara yang diumumkan ke publik dan yang diajukan di persidangan menjadi alarm serius bagi fungsi pengawasan publik pers.
Terdakwa AS ditangkap aparat Polres Tolitoli pada 9 Juli 2025 di Jalan Abdul Muis. Penangkapan dipimpin langsung Wakapolres Tolitoli, Kompol Alfius Parangi, S.H., dengan barang bukti awal berupa 53 saset narkotika jenis sabu. Sehari kemudian, Polres Tolitoli menggelar konferensi pers resmi.
Dalam konferensi pers tersebut, Kapolres Tolitoli AKBP Wayan Wayracana Ariyawan, S.I.K. melalui Kasat Narkoba IPTU Herman Yosep menyampaikan bahwa total barang bukti yang diamankan dari terdakwa AS mencapai 15,68 gram bruto. Pernyataan ini disampaikan secara terbuka dan dikonsumsi publik sebagai informasi resmi institusi.
Namun, fakta persidangan justru menunjukkan data berbeda. Dalam proses pembuktian di PN Tolitoli, barang bukti narkotika yang diajukan Jaksa Penuntut Umum hanya tercatat seberat 8,23 gram. Berdasarkan jumlah tersebut, majelis hakim menjatuhkan vonis 5 tahun 1 bulan penjara kepada terdakwa AS.
Perbedaan hampir separuh dari jumlah yang sebelumnya disampaikan kepada publik inilah yang memunculkan pertanyaan mendasar: apakah sejak awal informasi yang disampaikan aparat sudah akurat dan sesuai dengan prosedur hukum?
Dalam perspektif hukum acara pidana, kejelasan barang bukti bukanlah persoalan administratif semata. Pasal 1 angka 16 KUHAP menegaskan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan barang di bawah penguasaannya untuk kepentingan pembuktian. Artinya, sejak disita, status, jumlah, dan kondisi barang bukti harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Lebih lanjut, Pasal 39 KUHAP mengatur bahwa barang sitaan harus berkaitan langsung dengan tindak pidana, sementara Pasal 45 KUHAP mewajibkan agar barang sitaan dijaga keutuhannya sampai adanya putusan pengadilan. Setiap perubahan, termasuk pemisahan kemasan dan penimbangan ulang, secara prinsip harus terdokumentasi secara cermat dan transparan.
Dalam standar operasional penanganan barang bukti narkotika (SOP Polri dan BNN), penimbangan barang bukti dikenal dengan dua istilah: berat bruto (dengan kemasan) dan berat bersih (tanpa kemasan). Namun, SOP juga menekankan pentingnya konsistensi informasi dan pencatatan sejak tahap penyidikan, termasuk dalam Berita Acara Penimbangan dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Persoalannya, dalam kasus AS, informasi kepada publik pada tahap awal tidak menjelaskan secara tegas perbedaan antara berat bruto dan berat bersih. Ketidakjelasan ini berpotensi menimbulkan persepsi negatif dan membuka ruang spekulasi, terutama dalam perkara narkotika yang kerap rawan disorot publik.
Menanggapi sorotan tersebut, Kasat Narkoba Polres Tolitoli melalui KBO Narkoba Iptu Ahmad memberikan klarifikasi kepada wartawan, Kamis (18/12). Ia menyatakan bahwa berat awal barang bukti sebenarnya mencapai 17,9 gram bruto karena masih termasuk kemasan plastik.
“Setelah dipisahkan dari plastik pembungkusnya, berat bersih narkotika menjadi 8,23 gram. Itu yang kemudian diajukan dan disidangkan di pengadilan,” ujar IPTU Ahmad sembari menunjukkan BAP.
Kendati demikian, dari sudut pandang watchdog pers, klarifikasi ini belum sepenuhnya menjawab pertanyaan krusial, mengapa sejak awal data yang disampaikan ke publik tidak disertai penjelasan rinci sebagaimana standar SOP? Ketidaksinkronan informasi publik dan fakta persidangan berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat, meskipun secara hukum aparat menyatakan tidak ada pelanggaran prosedur.
Bahkan fenomena berkurang barang bukti seperti itu, memunculkan opini liar “jangan-jangan” telah terjadi prilaku curang, sengaja dilakukan penyidik, bertujuan untuk mengatur pasal demi pengurangan tuntutan agar vonis hakim lebih ringan.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa penegakan hukum tidak hanya diukur dari vonis pengadilan, tetapi juga dari proses yang transparan, konsisten, dan patuh pada KUHAP serta SOP internal. Dalam perkara narkotika, di mana barang bukti menjadi jantung pembuktian, ketelitian dan keterbukaan informasi merupakan keharusan, bukan pilihan.
Pers, sebagai pilar pengawasan publik, berkepentingan memastikan bahwa setiap tahapan penegakan hukum berjalan sesuai aturan. Selisih data, sekecil apa pun, patut dikritisi agar ke depan tidak menjadi preseden buruk dalam penanganan perkara serupa, khususnya di Kabupaten Tolitoli (Tim)













